Warga Sampit Keluhkan Harga Kayu

Written by Super User on . Posted in Blog

Warga Sampit Keluhkan Harga Kayu

Sampit, Kalteng, 1/2 (ANTARA) - Sungguh ironis bahwa warga Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah yang selama ini daerahnya dikenal sebagai salah satu "lumbung log" di Kalimantan, kini justru mengeluhkan mahalnya harga kayu.

"Harga kayu itu kian mahal untuk jenis ulin. Jenis kayu ini semakin tidak terjangkau, dalam satu meter kubik harganya mencapai Rp3,5 juta hingga Rp5,9 juta untuk semua ukuran," kata Edy, salah seorang warga Kelurahan Baamang Barat, Kecamatan Baamang, Kabupaten Kotim di Sampit, Jumat.

Kayu ulin sebenarnya masih banyak terdapat di Kabupaten Kotim, khususnya di kawasan hulu Sungai Mentaya. Namun perdagangannya dinilai sangat sulit karena banyak persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat jika ingin menjual secara legal dalam jumlah besar.

Kayu ulin yang beredar saat ini diduga hasil tebangan masyarakat yang dijual sedikit demi sedikit kepada pihak pangkalan kayu karena terbatasnya peredaran kayu ulin, tidak heran jika harga kayu kuat tersebut sangat tinggi.

Untuk kayu ulin ukuran 10x10 centi meter (cm) dengan panjang empat meter dihargai sekitar Rp190.000 per batang, sedangkan ukuran 5x10 cm dijual Rp90.000 per potong. Sedangkan papan lantai ulin per potong dijual sekitar Rp50.000 hingga Rp70.000 per lembar.

Mahal dan sulitnya dalam mendapatkan kayu ulin tersebut membuat sebagian besar masyarakat yang sedang membangun rumah harus menghentikan sementara pengerjaannya, sebab dana yang dimiliki tidak mencukupi.

Tidak hanya itu, kayu ulin bekas pakai pun kini masih laku dijual. Untuk harganya biasanya ditentukan oleh penjualnya dengan melihat ukuran dan kondisi kayu ulin tersebut. Salah satu penjual ulin bekas atau layak pakai, bisa ditemukan di Kecamatan Baamang, Sampit.

Diman, salah seorang penjual kayu di Kecamatan Baamang mengatakan, saat ini jual beli ulin memang cukup sulit. Ketatnya aturan membuat hanya sedikit pangkalan kayu yang berani menjual ulin, tidak heran jika harganya tinggi karena peredarannya tidak banyak.

"Pangkalan kayu kami saja tidak lagi menjual ulin. Selain memang sulit mendapatkannya, kami malas karena sangat rentan, salah-salah bisa ditangkap karena dituding memperdagangkan ulin secara ilegal," katanya.

Menurutnya, di daerah penghasil seperti Desa Sangai dan sekitarnya, harga kayu ulin cukup murah. Namun besarnya risiko membawa ke Sampit lah yang membuat harga ulin menjadi mahal.

"Membawa sedikit saja salah-salah bisa ditangkap polisi. Kalau yang ada sekarang ini katanya sih minta surat rekomendasi dari pihak terkait bahwa ulin itu untuk kebutuhan lokal, makanya mungkin masih diberi toleransi," sambung Diman.

Masalah sulitnya mendapatkan kayu ini sendiri ternyata menjadi salah satu pertimbangan panitia Sampit Expo 2013 sehingga memilih menyerahkan persiapan kepada sebuah event organizer.

Panitia mempercayakan pembangunan tempat acara kepada event organizer (EO) terutama untuk stan di tenda sehingga tidak terlalu banyak membutuhkan kayu.

"Dengan diserahkan ke event organizer, panitia dan peserta tidak repot lagi mengurus stand, termasuk membongkar pasang serta mencari kayunya. Harga sewa stan pun lebih murah dibanding membangun sendiri. Selain itu semuanya jadi praktis, tidak perlu repot," kata Zulhaidir, salah satu panitia Sampit Expo kepada wartawa.


sumber : Antara News
(T.KR-UTG/B/I014/I014)